Home » » PARE SEBAGAI SAYURAN PENDERITA DIABET

PARE SEBAGAI SAYURAN PENDERITA DIABET

Written By Muhammad Yusuf on Monday, June 13, 2011 | 5:05 AM

Pare pahit, paria pahit, parai pahit, (bitter melon, bitter gourd, balsam pear, balsam apple; Momordica charantia); adalah sayuran terpahit setelah daun pepaya. Rasa pahit ini disebabkan oleh adanya kandungan zat quinine yang cukup tinggi pada pare. Itulah sebabnya di Columbia dan Panama, sayuran ini digunakan sebagai bahan obat tradisional melawan malaria. Hal yang sama juga terjadi pada daun pepaya pada masyarakat Papua. Selama ini zat quinine sebagai obat malaria, diekstrak dari kulit batang pohon kina (Cinchona ledgeriana), atau sintetis organiknya. Meskipun obat malaria sudah banyak dijual dengan harga sangat murah, namun masih ada saja masyarakat yang memanfaatkan pare sebagai obat malaria.
Namun sebenarnya khasiat pare masih cukup banyak. Di India dan Filipina, pare justru dimanfaatkan untuk obat diabetes. Hingga di India, pare juga disebut sebagai “plant-insuline”. Khasiat pare sebagai penyeimbang gula darah ini malahan juga diakui oleh dunia medis barat. Hingga para dokter menganjurkan agar para penderita diabetes, mengkonsumsi pare secara periodik dan teratur. Di RRC, pare juga digunakan untuk berbagai penyakit. Bahkan dunia farmasi modern berharap agar suatu ketika pare juga bisa berfungsi mengatasi infeksi virus HIV yang mengakibatkan penyakit AIDS. Meskipun realisasi ke arah sana masih agak jauh, namun pemanfaatan pare sebagai sayuran sehat, sudah disadari oleh masyarakat kita.
Pemanfaatan pare sebagai menus sehat ini, antara lain dilakukan dengan secara rutin meminum jusnya. Pare segar dipotong ujung dan pangkalnya, dibelah, dibuang bagian tengahnya yang berbiji, dicuci, dipotong-potong dan kemudian diblender dengan diberi sedikit air. Jus pare ini diminum secara teratur, diselang-seling dengan jus sayuran buah dan umbi lainnya. Misalnya ketimun, buncis, tomat, labu siam, wortel, dan lobak. Konsep dasar para konsumen jus sayuran, dan juga buah ini adalah, manusia purba yang sehat-sehat itu memakan mentah sayuran dan buah-buahan. Sebab dengan mamasak sayuran, maka sebagian besar vitamin yang terkandung dalam sayuran tersebut akan rusak.
# # #
Jenis pare ini disebut pare pahit, untuk membedakannya dengan pare welut (paria belut, Tri chosanthes anguina). Pare pahit, selain karena rasa buahnya yang pahit, ukurannya pendek dengan tekstur kulit yang bergerigi atau beralur. Sementara pare welut, diameter buahnya lebih kecil, namun ukurannya bisa beberapa kali panjang pare pahit. Warna kulit buahnya belang-belang hijau putih dengan permukaan halus tanpa alur. Rasa pare welut juga tawar dan sama sekali tidak ada pahitnya. Pare pahit sendiri dibedakan menjadi beberapa varietas. Pertama varietas pare ayam. Buah pare ayam berbentuk agak pendek dengan bagian pangkal dan ujung meruncing, ukuran kecil, warna kulit hijau tua dengan terkstur bergerigi. Varietas pare ayam paling pahit dibanding dengan varietas lainnya.
Kedua pare pahit hijau besar. Bentuk pare pahit ini agak memanjang, dengan bagian pangkal rata dan ujungnya meruncing. Ukuran sedang sampai besar, warna kulit hijau tua dengan tekstur beralur. Varietas ini tidak sepahit pare ayam. Varietas berikutnya adalah pare gajih atau pare putih. Bentuk dan alur kulit pare gajih, sama dengan pare ayam. Hanya ukurannya lebih panjang dan besar, serta warna kulitnya hijau keputihan. Rasa pahitnya juga agak kurang. Sekarang, pare ayam makin jarang dibudidayakan masyarakat, karena produktivitasnya sangat rendah, ukuran buahnya sangat kecil, daging buahnya tipis, dan sangat pahit. Namun sebagai bahan obat tradisional, pare ayam paling banyak dicari konsumen.
Pare pahit tidak diketahui asal usulnya, tetapi yang pasti tanaman ini asli kawasan tropis Asia. Di Asia Selatan, Asia Tenggara, China, pare pahit dibudidayakan secara luas sebagai sayuran maupun bahan tananam obat. Belakangan budidaya pare pahit juga berkembang di Afrika dan terutama Amerika Tengah dan negara-negara Laut Karibia. Pare pahit dibudidayakan, terutama sebagai sayuran. Baik untuk dikonsumsi segar sebagai salad, jus, pickle, atau dimasak sebagai soup. Sayuran pare pahit, biasa dimasak bersama sea food (ikan, cumi, udang dan kerang), daging sapi, atau daging babi. Di India dan RRC, pare pahit sama prestisiusnya dengan sayuran lain. Di Indonesia, pare pahit sudah biasa dikonsumsi bersama dengan udang, atau dimasak sebagai “pare cah sapi”, “pare cah tempe” dan lain-lain. Pare juga populer dimasak sebagai botok dengan bumbu teri dan kelapa muda.
Budidaya pare pahit diawali dengan penyemaian biji. Benih berupa biji, diambil dari buah pare ukuran standar yang sudah berar-benar tua. Buah pare yang telah tua, bagian tengahnya akan berubah menjadilunak dan berwarna merah darah. Biji pare berada dalam bungkus selaput yang berwarna merah tersebut. Seluruh bagian tengah daging buah yang berisi biji itu diambil, kemudian diremas-remas dan dicuci dengan air bersih. Terdapatlah biji pipih bergerigi dengan ketebalan 2 mm. lebar 6 mm. dan panjang 1 cm. Warna biji cokelat gelap dan berkulit keras. Biji yang sudah bersih ini selanjutnya dikeringkan dengan cara dihamparkan dalam suhu kamar. Benih ini bisa langsung ditanam, atau terlebih dahulu disimpan.
# # #
Penyimpanan benih kualitas baik, bisa dilakukan dengan wadah botol beling berwarna hijau atau cokelat, dengan memberi campuran abu dapur dan menutup bagian atasnya dengan kapas dan kemudian ditutup rapat. Botol ini harus disimpan di tempat yang sejuk. Penanaman pare bisa dilakukan dengan langsung menanam bijinya pada lokasi yang kita kehendaki, bisa pula dengan menyemaikannya terlebih dahulu di sauatu tempat, baru kemudian memindahkannya ke lahan yang sudah ditentukan. Cara kedua lebih baik, sebag bisa lebih menghemat waktu, dengan resiko kematian yang juga lebih kecil. Penyemaian dilakukan di polybag atau wadah lain, dengan media tanah campur pupuk organik.
Ada beberapa pola penanaman pare. Pertama seperti halnya penanaman buncis dan kacang panjang, yakni dengan menanamnya dalam bedengan dan memberinya ajir untuk panjatan. Kedua, dengan para-para sebagai tempat merambatnya, seperti halnya pola penanaman anggur dan labu siam. Ketiga, dengan membiarkannya merambat pada tumbuhan lain, misalnya lamtoro. Para petani sayuran, umumnya membudidayakan pare dengan model guludan dan ajir. Pada pola penanaman ini, biji langsung dimasukkan ke dalam lubang tanam dan ditimbun tanah. Semaian yang tumbuh akan lengsung memanjat pada ajir yang sudah disiapkan sejak awal. Pola penenaman demikian menghemat banyak waktu, melainkan boros benih.
Pada pola para-para, benih disemai terlebih dahulu, baru kemudian dipindahkan ke lokasi penanaman dan dibiarkan mengisi para-para yang sudah disediakan. Karena benih parai tidak terlalu tinggi harganya dan bisa diproduksi sendiri oleh petani, umumnya mereka lebih memilih menggunakan pola penanaman dengan guludan dan ajir. Pada umur dua bulan, tanaman pare akan mulai berbunga. Bunga jantan umumnya keluar lebih awal. Mahkota bunga jantan lebih lebar kelopaknya, dengan warna kuning tua yang sangat cerah. Bunga betina muncul lebih kemudian, dengan ditandai calon buah pare sebagai pangkal (tangkai) bunga. Penyerbukan, biasanya dilakukan oleh lebah, kumbang, atau lalat.
Agar pertumbuhan pare sempurna, para petani sering mengikatkan pemberat satu per satu pada ujung bakal buah. Buah yang diberi pemberat demikian, bentuknya memang akan lebih sempurna dibanding dengan buah yang dibiarkan tumbuh tanpa pemberat. Pare belut pun juga memerlukan pemberat di bagian ujung buahnya, supaya bisa tumbuh lurus ke bawah, dan ukannya melingkar-lingkar seperti belut atau ular. Buah pare paling rentan terhadap serangan lalat buah. Itulah sebabnya para petani juga harus telaten untuk membungkus buah satu per satu. Bungkus buah pare biasanya cukup kertas koran yang dikerudungkan ke dalam bakal buah dan direkatkan dengan stapplers.
# # #
Pembungkusan buah ini mutlak diperlukan, sebab penggunaan pestisida untuk menanggulangi serangan lalat buah sangat tidak dianjurkan. Terlebih lagi pestisida yang bersifat sistemik. Sebab residu pestisida itu akan terbawa ke dalam daging buah pare yang dikonsumsi manusia. Para petani Indonesia umumnya masih belum menyadari hal ini, hingga sebagian masih menggunakan pestisida dan tidak melakukan pembungkusan buah. Tingginya harga pestisida akhir-akhir ini, telah mngurangi penggunaan pestisida di kalangan petani sayuran. Sebenarnya, dengan penanaman di lahan terbuka, misalnya di sawah atau ladang, resiko serangan lalat buah bisa lebih dikurangi, jika dibanding dengan penanaman di kebun yang banyak pohon buahnya.
Kalau di India, RRC, Taiwan, dan Thailand, pare pahit sudah menjadi sayuran yang prestisius, maka di Indonesia pare hanyalah sayuran kelas dua. Masyarakat masih lebih menghormati kol, caisim, petsai, wortel, kentang, seledri dan daun bawang, yang merupakan sayuran bawaan penjajah Belanda. Namun belakangan, suplai pare pahit sudah mampu mengimbangi permintaan masyarakat, terutama di kota-kota besar. Sekarang, hampir tiap hari kita bisa menjumpai pare pahit di pasar swalayan maupun pasar tradisional. Meskipun sudah berhasil menembus pasar swalayan, namun masih belum tampak inovasi untuk memasarkan pere pahit dalam bentuk “baby”. Padahal kita sudah terbiasa dengan baby buncis, baby toge, baby labu siam dan lain-lain.
Namun nasib pare pahit, masih lebih baik jika dibanding dengan pare belut. Sebab sekarang, jenis sayuran ini sangat sulit dijumpai di pasaran. Seandainya ada penjualnya pun, masyarakat akan heran melihatnya. Padahal, pare belut tidak kalah nikmat untuk disayur dibanding dengan pare pahit. Bahkan bagi mereka yang tidak menyukai rasa pahit pada daging buah pare, pilihannya bisa jatuh ke pare belut. Budidaya pare belut, sama persis dengan budidaya pare pahit. Dua jenis pare ini memang masih satu kerabat dengan timun maupun melon, yakni sama-sama famili Cucurbitaceae. Namun dua jenis pare ini berlainan genus. Pare pahit genus Momordica, sementara pare belut genus Trichosanthes. 
Share this article :

Post a Comment