Sayuran dataran rendah yang memerlukan budidaya khusus adalah kangkung air dan genjer. Budidaya kangkung air dan genjer dilakukan di sawah yang berpengairan teknis. Biasanya kangkung air merupakan varietas ungu (berbatang dan berbunga ungu). Sementara kangkung cabut varietas putih (berbatang hijau dan berbunga putih). Meskipun sebenarnya, kangkung putih juga bisa dibudidayakan di lahan basah, dan sebaliknya kangkung ungu bisa dibudidayakan di lahan kering. Karena sifat budidayanya, maka kangkung air relatif lebih rendah harganya dibanding kangkung cabut.
Kacang panjang, terung hijau panjang/ungu, oyong, mentimun dan pare, merupakan sayuran dataran rendah yang dibudidayakan secara massal di lahan sawah pada musim kemarau dan di lahan kering pada musim penghujan. Kacang panjang dan terung ungu/hijau panjang, paling banyak dibudidayakan karena pasarnya juga paling besar. Sementara oyong dan pare relatif lebih sedikit volumenya. Budidaya kacang panjang, oyong, mentimun dan pare memerlukan ajir. Sementara terung tidak memerlukan ajir.
Komoditas sayuran dataran rendah yang tidak dihasilkan oleh tanaman sayuran adalah nangka muda, pepaya muda, daun melinjo berikut bunga dan buah mudanya. Jenis sayuran ini diperlukan dalam volume besar terutama untuk sayur asem. Meskipun sangat populer dan massal, namun hampir tidak ada petani yang bersedia membudidayakan pepaya, nangka dan melinjo untuk bahan sayuran. Beda dengan daun singkong. Di sekitar Jakarta sudah banyak petani yang membudidayakan singkong hanya untuk dipetik daunnya.
Umumnya, jenis sayuran yang secara sengaja dibudidayakan di dataran rendah hanyalah yang nilai komersialnya relatif baik. Mulai dari selada, caisim, bayam cabut, kangkung cabut, kacang panjang, mentimun, oyong, terung dan pare. Di luar Jawa, khususnya di Kalimantan, NTT, Maluku dan Papua, budidaya sayuran dataran rendah masih sebatas dilakukan oleh etnis Jawa atau Toraja. Etnis ini memiliki tradisi mencangkul, memupuk dan marawat tanaman musiman. Sementara etnis Dayak atau Flores (kecuali Manggarai) dan kebanyakan etnis luar Jawa lainnya lebih mengenal tradisi berladang dan berkebun.
Yang dimaksud dataran rendah dalam konteks ini adalah, kawasan dengan ketinggian mulai dari 0 m. dpl. sd. sekitar 500 m. dpl. Ciri khas kawasan dataran rendah adalah udaranya yang panas. Karenanya sayuran dataran tinggi seperti kol, wortel, seledri, daun bawang dan kentang tidak mungkin dibudidayakan di kawasan ini. Seledri dan daun bawang sebenarnya masih bisa dibudidayakan dengan hasil cukup baik, asal pasarnya relatif jauh dari kawasan penghasil sayuran dataran tinggi. Misalnya Pontianak, Samarinda, Ambon dan terutama Kupang.
Pontianak mendapat suplai sayuran dataran tinggi dari Medan (Brastagi) dan dari Jawa. Samarinda dan Ambon memperoleh suplai dari Jawa dan Sulawesi. Kupang memperoleh suplai dari Sulawesi dan Jawa, namun biaya transportasinya sudah sangat tinggi. Hingga budidaya sayuran dataran rendah menjadi lebih dimungkinkan di Kupang. Atau, ada upaya untuk mengintroduksi budidaya sayuran dataran tinggi di Soe (kabupaten Timor Tengah Selatan). Soe berketinggian antara 500 m. dpl. sd. 1.000 m. dpl, airnya melimpah dan hanya berjarak 1,5 jam perjalanan dari Kupang.
Kekurangan suplai sayuran, bahkan lebih terasa lagi di kota-kota yang relatif kecil seperti Waingapu (Sumba), Tual (Kei), Sorong (Papua), Nunukan (Kaltim). Nunukan yang berbatasan dengan Sabah, Malaysia, terpaksa mendapat suplai sayuran dataran tinggi dari negeri jiran ini. Di nunukan, budidaya sayuran dataran rendah masih sebatas bayam potong, terung, caisim, mentimun dan kemangi. Petaninya masih terbatas etnis Jawa dan Toraja, dengan jumlah baru satu dua. Biasanya mereka sekaligus beternak ayam, hingga kotorannya bisa menjadi pupuk.
Budidaya sayuran dataran rendah dengan biaya on farm paling murah, dialami oleh para petani di bantaran kali di kota Jakarta. Mereka menggunakan pupuk sampah kota yang dibakar. Benih mereka produksi sendiri. Pada budidaya musim kemarau, air irigasi mereka ambil secara manual dengan gembor yang dipikul, langsung dari sungai. Meskipun air sungai tersebut telah menghitam akibat pencemaran, penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan, hasil sayuran tersebut tidak tercemar logam berat. Biaya budidaya yang dikeluarkan oleh para petani itu hanyalah tenaga kerja dan pupuk. Kendala utama yang dihadapi oleh para petani sayuran di kawasan Jabotabek justru tingginya biaya off farm berupa pungutan dari aparat serta preman.
Selada, caisim, kangkung, bayam cabut, terung dan pare bisa dengan mudah dibenihkan. Caranya, selada, caisim dan bayam dibiarkan tua dan keluar bunga serta menghasilkan biji. Kangkung pun demikian, namun untuk menghasilkan biji sebanyak mungkin, kangkung cabut ini harus diberi ajir agar merambat. Buah terung dan pare juga dibiarkan menjadi tua dan masak untuk diambil bijinya. Para petani sudah tahu, tanaman yang akan dibenihkan ini dipilih yang paling subur dan tumbuh sehat. Dengan cara ini, petani bisa mengatur agar kebutuhan benih untuk periode tanam berikutnya tercukupi.
Lahan yang akan ditanami sayuran haruslah terkena panas matahari penuh sepanjang hari. Kualitas tanah justru tidak menjadi masalah, sebab dengan adanya bahan organik cukup, maka tanah pasir, tanah liat atau cadas sekali pun tidak menjadi masalah untuk budidaya sayuran. Tanah ini dicangkul sampai gembur dan dibentuk menjadi bedengan memanjang. Pada penanaman musim hujan, perlu dibuat saluran pembuang air (drainase) yang cukup, hingga lahan tanaman tidak tergenangi air. Pada penanaman musim kemarau, saluran drainase tidak diperlukan. Sambil menggemburkan tanah, dilakukan pencampuran pupuk organik.
Selain sampah kota yang dibakar, pupuk untuk budidaya sayuran di sekitar kota juga bisa berupa kompos, kotoran ayam atau limbah isi rumen (perut sapi, domba/kambing) dari rumah pemotongan hewan (RPH). Pupuk organik yang paling murah adalah sampah pasar yang dibakar. Pembakarannya tidak sampai menjadi abu, melainkan cukup berupa arang. Sebab kalau sampai menjadi abu, bahan organis tersebut justru sudah hilang nutrisinya. Abu yang banyak mengandung soda, malahan bisa merusak tanaman sayuran yang perakarannhya sangat lemah. Pupuk kompos bisa dibuat dengan menumpuk limbah organik berupa daun-daunan kering atau sisa produk pertanian lainnya.
Sebenarnya, budidaya sayuran dataran rendah di sekitar kota besar, juga bisa memanfaatkan pupuk kotoran kelinci. Kualitas pupuk kotoran kelinci paling baik jika dibandingkan dengan pupuk organik lainnya. Pakan kelinci bisa berupa limbah sayuran hasil budidaya sendiri, bisa pula dengan mengambil limbah pasar berupa daun kembang kol, kelobit jagung dll. yang biasanya menumpuk di pasar-pasar tradisional. Pemeliharaan kelinci, selain menghasilkan pupuk organik kualitas tinggi, juga bisa memberikan tambahan penghasilan bagi petaninya. Namun, jenis kelinci yang dipelihara haruslah kelinci lokal yang cocok hidup di dataran rendah. Bukan kelinci ras unggul yang hanya cocok dipelihara di dataran tinggi.
Setelah bedengan dengan pupuk organiknya siap, benih sayuran cukup ditaburkan di lokasi penanaman. Agar penyebaran benih merata, terlebih dahulu dicampur tanah atau pupuk organik, baru kemudian disebar. Benih yang bisa langsung ditebar demikian adalah bayam dan kangkung cabut. Sementara caisim, selada, kenikir, kemangi, dan terung haruslah disemai terlebih dahulu baru kemudian dipindahkan ke lahan. Penyemaian benih biasanya dilakukan di bedeng yang terpisah dari bedeng pembesaran. Sayuran kacang panjang, mentimun, oyong dan pare memerlukan ajir atau pagar sebagai rambatan.
Karena sayuran merupakan komoditas yang hanya bisa dipasarkan segar dalam volume terbatas namun setiap hari harus ada, maka budidayanya harus diatur agar bayam, kangkung, caisim, selada dll. itu bisa dipanen tiap hari. Kalau tiap hari pasar hanya mampu menyerap bayam dan kangkung cabut 10 ikat, maka penyebaran benih dilakukan seminggu sekali, dengan perkiraan hasil panennya akan mencapai 70 ikat. Kalau satu ikat kangkung dan bayam cabut dihasilkan dari lahan seluas 625 cm2 (0,25 cm. X 0,25 cm), maka untuk menghasilkan 70 ikat per minggu, harus ditanam satu petak bedengan ukuran 5 m2 (2,5 m. X 2 m.).
Kalau umur panen kangkung dan bayam cabut 40 hari, maka untuk bisa mensuplai 10 ikat kangkung/bayam cabut per hari, diperlukan lahan penanaman seluas 35 m2. (5 m. X 7 m.). Kalau penanaman dilakukan tiap minggu @ 5 m2, maka pada minggu VI lahan yang pertama ditanami sudah dipanen dan siap untuk ditanami lagi. Dengan demikian, rotasi penanaman untuk menghasilkan kangkung/bayam cabut 10 ikat per hari bisa dicapai. Lahan seluas 35 m2 tersebut tidak boleh ditanami bayam dan kangkung darat sekaligus. Sebab hasil panennya akan mencapai 70 ikat per hari hingga tidak bisa terpasarkan.
Meskipun panen diharapkan rutin tiap hari, penanaman dalam skala kecil tidak perlu dilakukan tiap hari. Dengan pola penanaman seminggu sekali, panen tiap hari masih dimungkinkan. sebab dalam kenyataannya, tanaman dalam satu petak ukuran 5 m2 tersebut, pertumbuhannya tidak akan seragam. Pemenenan yang dilakukan satu hari sekali, hanya akan mengambil individu tanaman yang benar-benar sudah siap panen. Kalau tanaman yang tumbuh bongsor itu dicabut, maka tanaman disebelahnya yang sebelumnya tidak mendapat suplai hara serta sinar matahari cukup, akan segera ikut tumbuh bongsor.
Sumber : Forum Kerjasama Agribisnis
Post a Comment